Caption : Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu saat berdiskusi dengan Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw di Sentani
Sentani, -Jayapura Post.com ||
Masyarakat pemilik hak ulayat di Papua diharapkan tidak menjual tanah yang dimiliki saat ini.
Tanah ibarat Ibu yang sedang memelihara dan menjaga umat manusia dalam setiap aktifitas yang dilakukan.
Mantan Gubernur Papua, Barnabas Suebu mengatakan, hutan Papua secara umum, dan kusus di Kabupaten Jayapura harus di jaga dan dilestarikan untuk kepentingan hidup seluruh umat manusia di dunia.
Kabupaten Jayapura, kata Suebu, ada gunung siklop dan Danau Sentani, ada juga hutan pada dataran dan lembah Grimenawa hingga Yapsi dan bagian selatan menuju Keerom dan Sarmi. Semua hutan harus di jaga, tidak boleh di jual. “Kalau jual tanah, kitong (kita) bisa berkebun di udara?, tanah dan hutan harus di jaga dan dirawat. Kita semua bertanggung jawab didalam nya, ” ujar Bas Suebu sapaan akrabnya di Sentani, Senin (22/8/2022).
Dikatakan, setelah bebas dari tahanan, dirinya akan fokus pada pekerjaan kemanusiaan dan penyelamatan lingkungan hidup. Kususnya Gunung Siklop dan Danau Sentani akan menjadi prioritas kerja-kerja kami kedepan. “Tentunya dalam kerja-kerja kedepan akan bersama dengan masyarakat sebagai pemilik hak ulayat dan akan berkoordinasi juga dengan pemerintah daerah, ” katanya.
Lanjut Suebu, hutan Papua merupakan hutan terbesar kedua yang ada di dunia setelah Amazon di wilayah Amerika Selatan. Seperti seorang ibu sejak dahulu hutan Papua sudah menyediakan semua yang dibutuhkan oleh masyarakat adat Papua, baik itu sandang, pangan dan papan. “Karena itu saya mohon untuk kita semua dapat menjaga hutan papua sebaik mungkin, karena dari hutan kita bisa mendapatkan air bersih, daging dan sayuran untuk kita makan bahkan untuk berteduh, semua bisa kita dapatkan di hutan” ucapnya.
Saat menjabat sebagai Gubernur Irian Jaya, kata Suebu, pihaknya telah membuat sebuah peraturan untuk melestarikankan hutan dan lingkungan yang ada di Irian Jaya mulai dari Sorong hingga Merauke pada saat itu. Banjir Bandang Sentani yang terjadi pada 2019 lalu itu terjadi karena kurang adanya perhatian untuk perlindungan hutan. “Musibah itu terjadi karena kita tidak memperhatikan cagar alam siklop, sejak jaman dahulu siklop dianggap oleh masyarakat adat sentani sebagai ibu. Banjir bandang itu terjadi karena siklop marah, ulah manusia dieksploitasi dan digunduli dan akibatnya banyak yang menjadi korban dalam musibah itu”
“Dua hal ini tidak bisa dipisahkan oleh masyarakat sentani, oleh sebab itu harus di jaga agar siklop tidak kembali meluapkan amarahnya seperti kejadian beberapa tahun lalu, ” tandasnya.
Hal senada juga di sampaikan oleh Bupati Jayapura, Mathius Awoitauw, bahwa hak ulayat masyarakat adat, tanah, hutan dan air tidak boleh dijual untuk kepentingan sesaat. “Pemerintah daerah melakukan pemetaan wilayah adat dengan tujuan untuk memproteksi semua potensi sumber daya alam di setiap kampung. Ketika ada pihak dari luar yang ingin berinfestasi maka langsung bertemu dengan pemilik hak ulayat berdasarkan kepemilikan hak ulayat yang dimiliki, ” katanya. (EW)