Oleh :Suriyani
Pendahuluan
Gangguan jiwa merupakan permasalahan internasional yang apabila tidak dapat ditangani akan cenderung meningkat setiap tahunnya. Kesehatan mental yang baik adalah kondisi ketika batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati kehidupan sehari-hari dan menghargai orang lain di sekitar.
Seseorang yang bermental sehat dapat menggunakan kemampuan atau potensi dirinya secara maksimal dalam menghadapi tantangan hidup, serta menjalin hubungan positif dengan orang lain.
Sebaliknya, orang yang kesehatan mentalnya terganggu akan mengalami gangguan suasana hati, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya bisa mengarah pada perilaku buruk.
World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa yang termasuk dalam gangguan jiwa antara lain depresi, gangguan bipolar, skizofrenia dan psikosis, demensia, dan gangguan perkembangan. Tahun 2012, World Health Organization (WHO) mencatat jumlah penderita gangguan jiwa di dunia mencapai 450 juta jiwa, dan pada tahun 2016 menunjukkan terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena skizofrenia, serta 47,5 juta terkena demensia.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.
Data Riskesda (2018) Provinsi Papua menunjukkan jumlah penderita gangguan jiwa Skizofrenia mencapai 0.11% (3708 orang) dari 3.371.302 orang.
Namun dari total jumlah tersebut yang dirawat di RSJD Abepura Provinsi Papua pada tahun 2017 mencapai 738 orang dari populasi jumlah penduduk sebanyak 3,2 juta jiwa. Jumlah ini mengalami peningkatan sebesar 126 persen dibandingkan tahun 2016 yang berjumlah 612 orang, dan sebesar 89 persen dibandingkan tahun 2015 yang berjumlah 523 (Data Rekam Medik Rumah Sakit Khusus Daerah Abepura).
Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan NAPZA (Ditjen P2MKJN) menyampaikan bahwa berbagai kebijakan pencegahan ODGJ berat sudah sesuai dengan indikator Standar Pelayanan Minimal serta Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) yang tidak boleh ditelantarkan.
Juga mengajak masyarakat untuk menerapkan perilaku CERIA yaitu Cerdas intelektual, emosional dan spiritual, Empati dalam berkomunikasi efektif, Rajin beribadah sesuai agama dan keyakinan, Interaksi yang bermanfaat bagi kehidupan, Asah asih dan asuh tumbuh kembang dalam keluarga dan masyarakat.
Melalui gerakan ini diharapkan masyarakat Indonesia memiliki jiwa jiwa secara fisik, mental, sosial, dan spiritual.
Meningkatnya angka penderita ODGJ membuat upaya kesehatan jiwa perlu dilaksanakan dengan menekankan upaya promotif, preventif, dan rehabilitasi dengan tidak melupakan pelayanan kuratif. Upaya pelayanan kesehatan tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan pemberdayaan masyarakat melalui kader kesehatan jiwa dan tokoh masyarakat, yang didukung dan diawasi oleh tenaga kesehatan profesional. dengan menyelenggarakan kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan kesehatan jiwa, seperti kegiatan deteksi dini, kunjungan rumah dan pencatatan serta pelaporan kepada puskesmas mengenai penemuan baru penderita ODGJ.
Meningkatnya jumlah penderita ODGJ membuat perubahan pada penanganan masalah kesehatan jiwa yang sebelumnya berbasis rumah sakit menjadi community based psychiatric services.
Minimnya kuantitas sumber daya dan kapabilitas kader kesehatan yang tersedia mengenai program pelayanan kesehatan jiwa menjadi tantangan bagi upaya pelayanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, seperti kegiatan kunjungan rumah, pelaporan kasus, rujukan kasus, dan pencatatan serta pelaporan perkembangan pasien.
Terapi Psikologis dan Konseling pada keluarga dapat dilakukan atau pendekatan lainnya yang disesuaikan dengan kondisi individu untuk membantu mengelola masalah emosional dan mental. Penggunaan obat-obatan psikotropika seperti antidepresan, antipsikotik, atau mood stabilizer untuk mengontrol gejala gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau gangguan bipolar.
Pentingnya Pendidikan dan Kampanye Kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan jiwa, tanda-tanda gangguan mental, dan cara untuk mendapatkan bantuan jika mengalami masalah mental. Serta dukungan Keluarga dan Sosial yang kuat untuk memberikan dukungan emosional, pengelolaan stres, penguatan mental, dan resiliensi dan praktis kepada individu yang mengalami masalah kesehatan jiwa, termasuk akses terhadap fasilitas kesehatan jiwa dan dukungan sosial.
Dapat memanfaatkan teknologi seperti aplikasi mobile untuk memantau dan mengelola kesehatan jiwa, atau telemedicine untuk memfasilitasi konsultasi dengan profesional kesehatan jiwa serta menyediakan layanan intervensi krisis yang cepat dan program pemulihan untuk individu yang mengalami krisis mental.Pendidikan Kesehatan Mental di Sekolah dengan memasukkan ke dalam kurikulum sekolah untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat sejak usia dini.
Setiap negara dan masyarakat memiliki konteks dan tantangan unik dalam penanganan kesehatan jiwa, sehingga kombinasi dari beberapa solusi di atas sering kali diperlukan untuk mencapai hasil yang optimal.
Rekomendasi
Pembinaan Kader.Kader kesehatan merupakan seseorang yang tidak memiliki sertifikasi tenaga kesehatan profesional, namun memiliki peran dalam menjalankan pelayanan yang tidak diselenggarakan oleh rumah sakit maupun puskesmas, karena mereka dapat mencapai keluarga dengan ODGJ, orang sehat, orang dengan resiko kesehatan jiwa, maupun masyarakat luas lainnya yang belum pernah dikunjungi petugas kesehatan.
Pada tingkat primer kader melakukan kegiatan pendataan, penyuluhan kesehatan jiwa, dan mengajak datang ke posyandu kesehatan jiwa. Pada tingkat sekunder, kader kesehatan melakukan kegiatan deteksi dini dengan mengunjungi keluarga, membantu pencatatan di wilayah kerjanya yang kemudian melaporkan/ merujuknya kepada puskesmas untuk diagnosis. Mencakup informasi kemampuan ODGJ dalam mengatasi masalahnya, keterlibatan keluarga dan pemantauan perkembangan pasien. Pada tingkat tersier atau rehabilitasi, memberikan motivasi, mengingatkan rutin mengkonsumsi obat-obatan, memberikan instruksi kepada keluarga untuk rutin memantau pengobatan, membantu petugas mengumpulkan penderita ODGJ dan keluarga ikut kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dan rehabilitasi serta mendampingi perawat CMHN (Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas).
Dukungan Pemerintah dan pemangku kebijakan, komunikasi dan sosialisasi di rumah sakit, puskesmas, dan kader kesehatan mengenai kebijakan yang berlaku, instruksi, petunjuk, dan kejelasan alur komunikasi, memahami tugas dan kewajibannya sesuai SOP/ kebijakan yang berlaku, dengan pendekatan secara holistik.
Penyediaan Akses Terhadap Layanan Kesehatan Jiwa yang mudah dan terjangkau, seperti konseling, terapi, dan obat-obatan.
Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang kesehatan jiwa, termasuk mengenali tanda-tanda gangguan mental dan cara mendapatkan bantuan. Ajarkan keterampilan pengelolaan stres, resiliensi, dan penguatan mental kepada individu, termasuk di tempat kerja dan dalam program pendidikan.
Pengembangan Inovasi Teknologi Kesehatan Jiwa untuk meningkatkan aksesibilitas dan efisiensi layanan kesehatan jiwa.S
Strategi Implementasi
Implementasi strategi dalam penanggulangan kesehatan jiwa melibatkan beberapa langkah kunci yang dapat diambil oleh pemerintah, organisasi kesehatan, dan masyarakat umum.
1. Pembentukan Kebijakan dan Kerangka Kerja: Mulailah dengan pembentukan kebijakan yang jelas dan kerangka kerja untuk penanggulangan kesehatan jiwa di tingkat nasional, regional, atau lokal. Kebijakan ini harus mencakup pendanaan yang memadai, sumber daya manusia, dan pedoman operasional.
2. Pengembangan Program Intervensi: Program ini dapat mencakup edukasi, layanan konseling, terapi, atau intervensi krisis, sesuai dengan karakteristik dan tantangan lokal. Menerapkan teknologi untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan jiwa, seperti telemedicine untuk konseling jarak jauh.
3. Kolaborasi dan Jaringan: Bangun kemitraan yang kuat antara lembaga pemerintah, organisasi non-pemerintah, lembaga kesehatan, pendidikan, dan masyarakat sipil untuk mendukung implementasi program-program kesehatan jiwa. Kolaborasi ini dapat memperluas jangkauan dan mendukung integrasi layanan.
4. Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia: Berikan pelatihan dan pengembangan kepada tenaga kesehatan, konselor, dan relawan, termasuk pelatihan dalam pendekatan terapi, penanganan krisis, dan manajemen stres. Pastikan tersedianya sumber daya yang cukup baik dalam hal finansial, tenaga kerja, infrastruktur, dan teknologi yang diperlukan.
5. Pendidikan Masyarakat: Gelar kampanye edukasi dan kesadaran masyarakat tentang kesehatan jiwa, mengenali gejala gangguan mental, dan mengurangi stigma terkait dengan masalah kesehatan jiwa, melalui media massa, acara komunitas, atau program sekolah.
6. Pemantauan dan Evaluasi: secara teratur terhadap implementasi program kesehatan jiwa untuk menilai keefektifan, aksesibilitas, dan dampaknya terhadap masyarakat.
Policy Brief ini ditulis oleh: Suriyani
Mahasiswa Program Doktor Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar